Daán yahya/Republika

Jong Islamieten Bond dan Konteks Sumpah Pemuda

Menjelang Sumpah Pemuda 1928, perhimpunan ini mengusung semangat keislaman dan kebangsaan Indonesia.

Oleh: Hasanul Rizqa

Pada saat memasuki abad ke-20 M, perjuangan Indonesia mengawali babak baru. Maraknya perlawanan bersenjata mulai tergantikan kemunculan pergerakan-pergerakan. Dalam rangka menyusun kekuatan sosial dan politik, lahirlah beberapa organisasi yang dibentuk kalangan pribumi. Sebagai contoh, Sarekat Dagang Islam (16 Oktober 1905), Budi Utomo (20 Mei 1908), Indische Vereeniging (22 Desember 1908), Muhammadiyah (18 November 1912), Nahdlatul Ulama (31 Januari 1926), serta Partai Nasional Indonesia (4 Juli 1927).

 

Perubahan corak perjuangan itu turut dipicu pihak penjajah sendiri. Belanda mulai memberlakukan Politik Etis sejak Alexander WF Idenburg menjadi menteri koloni pada 1902. Politik Etis didasari suatu pemikiran, Belanda memiliki utang tanggung jawab moral (ereschuld) terhadap bangsa jajahannya. Sebab, berbagai kemakmuran yang dinikmati Negeri Tanah Rendah berasal dari pemerasan hasil bumi dan tenaga rakyat Hindia Belanda atau Indonesia.

 

Politik Etis sesungguhnya adalah sebuah proyek kolonial. Cikal bakalnya dapat ditelusuri sejak Christiaan Snouck Hurgronje menjadi penasihat pemerintah Hindia Belanda pada 1889. Profesor Universitas Leiden yang fasih berbahasa Arab dan Melayu itu menghendaki koeksistensi antara Belanda dan Hindia di masa depan. Untuk itu, pemilik nama alias Haji Abdul Ghaffar itu berharap, pribumi—utamanya Muslimin—Hindia Belanda mampu beradaptasi dengan ide-ide baru dari tradisi liberalisme Eropa Barat abad ke-19.

 

Caranya tentu melalui pendidikan. Jumlah rakyat Hindia Belanda yang menempuh sekolah-sekolah Barat pun meningkat. Jajat Burhanudin dalam Islam dalam Arus Sejarah Indonesia (2017) menjelaskan, kaum pribumi terdidik itu melonjak dari hanya 269.940 orang pada 1900 menjadi 1,7 juta pada 1930-an. Jumlahnya sangat kecil, tak lebih dari tiga persen, bila dibandingkan dengan keseluruhan penduduk. Hal itu pun menandakan Belanda memang sedari awal tak berkomitmen untuk memeratakan pendidikan di negeri jajahan.

 

Namun, golongan yang sedikit secara kuantitas itu kemudian menjadi sangat berpengaruh. Mereka tampil sebagai bangsawan-baru bukan karena darah atau keturunan, melainkan pemikiran dan tindakan. Mereka-lah minoritas kreatif yang akhirnya menentukan alur sejarah Indonesia.

 

Nyaris seluruh penggerak organisasi-organisasi nasionalis pada awal abad ke-20 merupakan anak-anak muda. Indische Vereeniging, misalnya, didirikan para mahasiswa Indonesia di Belanda. Awalnya hanya bersifat sosial, tetapi sejak akhir Perang Dunia I organisasi tersebut meneguhkan sikap politik antikolonialisme. Namanya berubah menjadi Perhimpunan Indonesia.

 

Pemimpinnya adalah seorang pemuda 24 tahun, Mohammad Hatta, yang saat itu menempuh studi ekonomi di Rotterdam. Sukarno juga masih berusia belia, 26 tahun, tatkala mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI) bersama dengan kawan-kawannya dari Algemeene Studie-club Bandung.

DOK PERPUSNAS

Nasionalisme pemuda

 

Dardiri Husni dalam tesisnya untuk McGill University, “Jong Islamieten Bond: A Study of A Muslim Youth Movement in Indonesia During the Dutch Colonial Era 1924-1942” (1998) menjelaskan, perkembangan gerakan intelektual muda pribumi Indonesia pada awal abad ke-20 terjadi dalam dua tahapan.

 

Pertama, pengadopsian identitas etnis. Ini berlangsung antara tahun 1908 dan 1925. Fase tersebut ditandai dengan kemunculan Budi Utomo, yang didirikan dua mahasiswa Sekolah Dokter Jawa atau STOVIA di Batavia (Jakarta), Raden Soetomo dan Gunawan Mangun Kusumo. Berbeda dengan Sarekat Islam yang sejak awal berdirinya diarahkan kepada rakyat Indonesia dari berbagai suku bangsa, Budi Utomo semata-mata merupakan himpunan untuk Jawa. Pandangan dan perhatiannya secara sosio-kultural hanya menarik perhatian penduduk Jawa Tengah. Itu pun terbatas pada kalangan pemuda terpelajar dan kaum ningrat.

 

Husni mengatakan, hingga Juli 1908 keanggotaan Budi Utomo mencakup 650 orang. Cabang-cabangnya terbentuk di beberapa kota besar di Jawa. Akan tetapi, pengaruh kaum muda terpelajar di organisasi tersebut seiring waktu kian meredup. Sementara, hegemoni kalangan priyayi justru semakin terasa. Keadaan itu menimbulkan ketidakpuasan di kalangan pelajar Jawa. Sebab, Budi Utomo cenderung menjadi panggung bagi kaum tua yakni priyayi, sedangkan kaum mudanya tersisihkan. Mereka yang tidak puas dengan kondisi tersebut lantas mendirikan organisasi baru, Tri Koro Dharmo, pada 1915.

 

Dalam tiga tahun berikutnya, perkumpulan itu mendirikan cabang di berbagai daerah Jawa. Sama seperti Budi Utomo, kehadiran Tri Koro Dharmo tidak terlalu menimbulkan minat para pelajar non-Jawa, seumpama Sunda atau Bali.

 

Sejarawan Prof Ahmad Mansur Suryanegara memandang, Tri Koro Dharmo tak ubahnya Budi Utomo. Menurut penulis Api Sejarah (2009) itu, Budi Utomo mengusung paham Jawa Raya serta menolak pelaksanaan visi persatuan Indonesia. Ide tentang cita-cita persatuan Indonesia, kata dia, justru terlahir dari Kongres Jong Islamieten Bond pada 1925.

 

Suryanegara mengatakan, Soetomo dan kawan-kawan didukung pemerintah kolonial Belanda karena ingin meredupkan pergerakan keislaman, khususnya Djamiat Choir. Organisasi yang berfokus pada dunia pendidikan itu didirikan kelompok sayyid Arab di Jakarta pada 17 Juli 1905—tiga tahun sebelum Budi Utomo. Bahkan, jelasnya, nama Budi Utomo terinspirasi dari Jam’iyah al-Khair, ‘jamaah yang baik.’

 

“Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa [‘jamaah yang baik’] menjadi Boedi Oetomo. Djamiat Choir lebih mengutamakan amal saleh menurut ajaran Islam, Boedi Oetomo juga mengutamakan laku utama menurut ajaran Agama Jawa,” tulis guru besar ilmu sejarah Universitas Padjajaran itu.

 

Tri Koro Dharmo mengadakan kongres pertamanya di Solo, Jawa Tengah, pada 1918. Sejak itu, namanya berubah menjadi Jong Java. Artinya, ‘Pemuda Jawa.’ Perubahan nama tersebut merupakan strategi untuk menimbulkan citra baru yang lebih inklusif. Pemuda pribumi non-Jawa pun mulai tertarik untuk mengikuti perkumpulan itu.

 

Husni menjelaskan, tiap calon anggota Jong Java harus berikrar untuk tidak terjun dalam aktivitas politik apa pun. Fokus diarahkan pada ranah pendidikan dan budaya (Jawa) saja. Sejalan Budi Utomo, Jong Java pun mengimpikan terciptanya Jawa Raya, suatu kesatuan yang mencakup Pulau Jawa, Madura, dan Bali.

 

Eksistensi Jong Java menimbulkan antusiasme di kalangan terpelajar pribumi. Maka berdirilah pelbagai organisasi serupa di penjuru Nusantara. Sebut saja, Jong Sumatranen Bond (1917), Jong Celebes (1918), Jong Minahasa (1918), Sekar Rukun Jawa Barat (1919), dan Kaum Betawi (1923). Masing-masing terikat pada identitas kedaerahannya. Inilah tren yang mendominasi gerakan intelektual muda Indonesia hingga 1925.

Berbeda dengan seluruh organisasi kepemudaan (jong) yang ada sebelumnya, JIB tidak dikhususkan untuk identitas etnis tertentu. Sifatnya plural karena menerima keanggotaan dari berbagai suku bangsa Indonesia.

Lahirnya Jong Islamieten Bond

 

Menurut Husni, tahapan kedua dari genesis gerakan-gerakan pemuda terpelajar di Tanah Air awal abad ke-20 ditandai dengan terbentuknya Jong Islamieten Bond (JIB). Berbeda dengan seluruh organisasi kepemudaan (jong) yang ada sebelumnya, JIB tidak dikhususkan untuk identitas etnis tertentu. Sifatnya plural karena menerima keanggotaan dari berbagai suku bangsa Indonesia. Dari sanalah, kesadaran nasionalisme tumbuh subur dan menguat di antara unsur pimpinan, para anggota dan kader perhimpunan tersebut.

 

Sejarah Jong Islamieten Bond bermula dari gejolak dalam Jong Java sejak kongres tahun 1924. Ketua Jong Java saat itu, Raden Sjamsuridjal, mengusulkan kepada hadirin untuk mengagendakan kursus tentang Islam sebagai salah satu program tahun-tahun mendatang. Alasannya, Islam merupakan agama yang dipeluk kebanyakan pribumi. Sebagai calon pemimpin di tengah masyarakat, menurut Sjamsuridjal, para anggota Jong Java dipandang perlu untuk mengenal lebih dekat ajaran agama tersebut. Apalagi, pada faktanya cukup banyak di antara mereka yang beragama Islam.

 

Ia pun menghendaki kursus Islam tersebut tidak wajib bagi seluruh anggota Jong Java. Siapapun yang tertarik, dipersilakan hadir. Namun, proposalnya kemudian ditolak mayoritas peserta kongres. Hal itu cukup aneh. Sebab, beberapa kursus spiritual-keagamaan sudah diagendakan di Jong Java, seperti kajian tentang Kristen dan Teosofi. Mengapa giliran Islam ditolak?

 

Kongres itu dihadiri sejumlah tamu undangan, termasuk Haji Agus Salim, HOS Tjokroaminoto, dan KH Ahmad Dahlan. Para tokoh senior itu dapat merasakan kekecewaan sang ketua Jong Java. Pada Desember 1924, ketiganya bertemu dengan Sjamsuridjal dan kawan-kawan di sebuah sekolah Muhammadiyah di Yogyakarta. Pertemuan itu menghasilkan komitmen untuk membentuk suatu organisasi kepemudaan baru yang berasaskan Islam. Inilah cikal bakal JIB.

 

Pada Januari 1925, Sjamsuridjal memutuskan untuk meletakkan jabatan ketua Jong Java. Sesudah itu, sosok yang kelak menjadi wali kota Jakarta 1951-1953 tersebut terus menggalang dukungan demi mewujudkan perkumpulan baru. Akhirnya, pada 1 Maret 1925 JIB berdiri resmi di Jakarta.

 

Husni mengatakan, JIB terbentuk dengan semangat kaum muda Muslim terpelajar yang sedang meneguhkan jati diri di tengah hegemoni dan dominasi kolonialisme Barat. Tidak ada tendensi sebuah partai politik. Di hari pertama pembentukannya, organisasi ini berhasil merekrut 250 orang pengikut. Perkumpulan itu tidak membatasi keanggotaan pada suku etnis tertentu, melainkan hanya pada rentang usia—14 hingga 30 tahun. Anggaran dasarnya juga tak mengekang. Misalnya, anggota boleh beraktivitas di ranah politik, asalkan tidak membawa nama JIB.

dok wikipedia

Kiprah dan perjuangan JIB

 

Di bawah kepemimpinan Raden Sjamsuridjal, Jong Islamieten Bond (JIB) terus melebarkan sayapnya. Hingga akhir tahun 1925, cabang-cabang perkumpulan tersebut berdiri di sejumlah kota, seperti Jakarta, Bandung, Magelang, Solo, Madiun, dan Surabaya. Yogyakarta dipilih sebagai markasnya karena di sanalah tempat rapat perdana penggodokan JIB pada Desember 1924.

 

Dalam tesisnya untuk McGill University yang bertajuk “Jong Islamieten Bond: A Study of A Muslim Youth Movement in Indonesia During the Dutch Colonial Era 1924-1942” (1998), Dardiri Husni menuturkan tiga fase perkembangan JIB. Tahap kesatu bermula sejak kongres pertama JIB yang berlangsung di Yogyakarta pada 25-27 Desember 1925. Acara tersebut diikuti 1.004 orang anggota.

 

Para penyaji membuat berbagai makalah dan kertas kerja tidak hanya dalam bahasa Belanda, tetapi juga bahasa Melayu. Mayoritasnya membicarakan perihal kajian keislaman. Misalnya, “Wereldbroederschap en Islam” (Persaudaraan Sedunia dalam Islam) karya Kwaja Kamaludin serta “Dezuilen en Plichtenleer” (Pilar-pilar dan Kewajiban) karangan Haji Agus Salim. Uniknya, JIB juga mengundang pembicara dari kalangan non-Muslim, semisal Domine A Pos. Tamu dari Gereja Protestan Yogyakarta itu membawakan pidato tentang agama Nasrani dan perkabaran Injil.

 

Kongres tersebut berhasil memilih ketua umum baru, yakni Wiwoho Purbohadidjoyo. Adapun Sjamsuridjal duduk di jajaran dewan penasihat, bersama dengan Haji Agus Salim. Selain itu, JIB juga akan menerbitkan majalah sendiri yang dinamakan Al-Nur atau Het Licht dalam bahasa Belanda. Het Licht akhirnya berhasil diterbitkan secara bulanan meskipun tidak selalu rutin. Pada bagian sampulnya, tercantum surah at-Taubah ayat 32. Artinya, “Mereka hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut mereka, tetapi Allah menolaknya, malah berkehendak menyempurnakan cahaya-Nya walaupun orang-orang kafir itu tidak menyukai.”

 

Spektrum perhatian JIB cukup luas, termasuk pada isu emansipasi perempuan. Sejak Mei 1925, berdirilah Divisi Perempuan JIB atau JIBDA (JIB Dames Afdeling). Para aktivis JIB percaya, kaum hawa berposisi setara dengan laki-laki, dan sama-sama berperan penting dalam memperbaiki masyarakat. Baik wanita maupun pria Muslim harus bisa lepas dari belenggu inferioritas di hadapan penjajah.

 

Seperti organisasi-organisasi pribumi lainnya kala itu, JIB pun memiliki departemen khusus pramuka. Namanya, Nationaal Indonesische Padvinderij atau disingkat Natipij. Terbentuk sejak Maret 1925, Natipij terbuka bagi putra dan putri umur 10-13 tahun. Oleh kakak pembina, mereka tidak hanya diajarkan tentang keterampilan praktis, tetapi juga dasar-dasar Islam. Adanya “Indonesia” dalam nama divisi tersebut mengindikasikan fungsi utama Natipij untuk menanamkan semangat nasionalisme kepada generasi muda sedari dini.

 

Tahap kedua perkembangan JIB terjadi dalam periode 1926-1929. Husni menyebutnya sebagai fase ekspansi. Sebab, cabang-cabangnya bermunculan tidak hanya di dalam, tetapi juga luar Jawa. Per akhir tahun 1928, kantor perwakilan organisasi tersebut menyebar hingga ke Medan, Palembang, Bengkulu, Padang, dan Makassar. Anggotanya berjumlah tak kurang dari 2.800 orang di seluruh Nusantara.

 

Pada 1927, JIB membentuk program Kernlichaam. Bisa dikatakan, inilah wujud dari proposal Sjamsuridjal yang dahulu ditolak dalam kongres Jong Java. Melalui program tersebut, para anggota JIB dapat memperoleh pengajaran dan diskusi mengenai Islam secara mendalam. Narasumbernya merupakan alim ulama di tiap cabang atau sosok-sosok dari organisasi itu sendiri yang dinilai cakap dalam bidang keagamaan, semisal Mohammad Natsir. Saat itu, pemuda berusia 19 tahun tersebut aktif sebagai murid Ahmad Hassan, seorang ulama Persatuan Islam (Persis) di Bandung, Jawa Barat.

 

Pada tahun yang sama, Wiwoho juga membentuk Studie Informatie Commissie (Komisi Studi Informasi). Fungsinya membantu siapapun yang tertarik untuk meneruskan studi ke sekolah-sekolah formal bentukan pemerintah kolonial. Komisi tersebut sangat bermanfaat terutama bagi mereka yang belum memahami apa-apa tentang pendidikan Barat. Begitu pula dalam meyakinkan orang tua bahwa mengenyam pendidikan di sekolah Belanda tidak lantas menjadikan anaknya “kafir.” Belakangan, SIC juga menyediakan informasi tentang pendidikan Timur, semisal cara mendaftarkan diri atau meraih beasiswa di Universitas al-Azhar Kairo, Mesir.

MURAL HARI SUMPAH PEMUDA | DOK ANTARA/Abriawan Abhe

Momen Sumpah Pemuda

 

Pada 30 April–2 Mei 1926, Kongres Pemuda untuk pertama kalinya dilaksanakan di Batavia (Jakarta). Kongres yang dihadiri Jong Java, Jong Sumatra, Kaum Betawi, dan lain-lain itu diketuai Mohammad Tabrani Soerjowitjirto, 22 tahun—nantinya dikenang sebagai penganjur penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Husni menjabarkan, Wiwoho saat itu sempat menimbang-nimbang, apakah JIB sebagai sebuah organisasi berbasis Islam akan turut serta dalam organisasi payung tersebut. Akhirnya, diputuskanlah bahwa JIB tidak bergabung dengan Kongres Pemuda I.

 

Bagaimanapun, konteks zaman pada saat itu pertama-tama mesti dipahami. Husni mengatakan, kaum intelektual muda saat itu sedang gandrung akan ideologi-ideologi pergerakan, semisal nasionalisme, Islam, sosialisme, dan komunisme. Keputusan Wiwoho itu menandakan kecenderungan JIB untuk bertahan pada jati diri sebagai organisasi berideologi Islam. Tak pelak, JIB menuai sindiran dan kritik dari kelompok-kelompok pemuda lainnya, terutama yang berhaluan nasionalisme sekuler.

 

Penolakan tersebut sesungguhnya tak berarti bahwa JIB tidak nasionalis. Husni menerangkan, JIB pun mengusung nasionalisme, tetapi yang berbasis Islam. Organisasi ini tidak seperti, umpamanya, Tri Koro Dharmo—genesis awal Jong Java—yang mencita-citakan Jawa Raya dalam Hindia Belanda. Semangatnya justru tak ubahnya Partai Nasional Indonesia (PNI) yang dibentuk Sukarno dan kawan-kawan dengan semoboyan “Indonesia merdeka sekarang!”

 

Belakangan, Wiwoho dan koleganya menyadari, pembicaraan seputar Kongres Pemuda bukanlah tentang ideologi tertentu, melainkan solidaritas kebangsaan yang menegaskan identitas Indonesia. Maka, JIB pun turut serta dalam Kongres Pemuda II pada 27–28 Oktober 1928.

 

Kongres pada 1926 itu menghasilkan kesepakatan tentang kegiatan-kegiatan pemuda pada segi sosial, ekonomi, dan budaya. Adapun kongres kali ini mengkristalkan tekad seluruh organisasi kepemudaan nasionalis mengenai nasib Tanah Air ke depan. Meskipun berasal dari latar belakang kedaerahan dan ideologi yang berbeda-beda, mereka dapat menyatukan suara. Semuanya terikat kesadaran kebangsaan yang kuat untuk meneguhkan persatuan Indonesia.

 

Hasil pertemuan akbar itu adalah sebuah ikrar yang dikenal sebagai Sumpah Pemuda: “Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, Tanah Air Indonesia. Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia. Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.”

 

Het Licht ikut menyiarkan teks Sumpah Pemuda tersebut. Sejak 1928, majalah milik JIB itu juga menggunakan bahasa Indonesia. Itulah beberapa cara organisasi tersebut dalam memperjuangkan kemerdekaan Tanah Air, menebarkan semangat antikolonialisme.

 

Mengatasi tantangan

 

Tahap ketiga perkembangan JIB, menurut Husni, berlangsung antara tahun 1930-1935. Sejak kongres pada Desember 1929, kepemimpinan Wiwoho tergantikan Kasman Singodimedjo. Pada masanya, pengaruh organisasi tersebut kian merata, terutama di Sumatra. Bersama dengan sahabatnya, Mohammad Roem, ia melakukan “tour de Sumatra” untuk merintis berdirinya cabang-cabang JIB berbagai kota di pulau tersebut. Hasilnya, semakin banyak pengikut pergerakan ini. Jumlah keanggotaan bahkan mencapai 4.000 orang dengan 55 cabang yang tersebar di Jawa, Sumatra, dan Sulawesi pada 1933.

 

Fokus perhatian JIB juga meluas, tidak hanya persoalan di dalam, melainkan juga luar negeri. Sebagai contoh, Kasman menjalin kerja sama dengan organisasi kemahasiswaan Indonesia di Mesir untuk menggalang kampanye dukungan terhadap Palestina. Melalui JIBDA, pihaknya juga menaruh konsen pada Kongres Perempuan Dunia di Lahore, Pakistan, pada Januari 1931.

 

Artikel-artikel yang muncul pada Het Licht kian banyak mengabarkan Muslimin di mancanegara. Ambil contoh, “Islam di Eropa”, karangan yang menyoal kondisi umat Islam di Polandia, Romania, Bulgaria, dan Yunani saat itu. Begitu pula “Seroean kepada Raja-raja Islam dan Oemat Islam di Seloeroeh Doenia” yang mengkritik kolonialisme Prancis di Afrika Utara. Merujuk pada pemberitaan koran Mesir, Wadi Nil, penulisnya menggugat kesewenangan bangsa Eropa serta kristenisasi penduduk Muslim lokal.

 

Kasman sendiri adalah anggota aktif Muhammadiyah. Sebagai ketua, ia ingin agar JIB menjadi sebuah organisasi sosial yang mampu mendirikan rumah sakit, sekolah-sekolah, atau panti asuhan—sebagaimana kiprah Muhammadiyah. Visi tersebut didukung Natsir, yang saat itu juga anggota Persis. Apalagi, JIB sudah merintis sekolah di Tegal, Semarang, dan Surabaya.

 

Namun, dalam kongres ketujuh di Madiun, Kasman dan Natsir berhadapan dengan Roem dan Yusuf Wibisono. Keduanya menolak usulan transformasi JIB karena ingin menjaga jati diri organisasi tersebut seperti awal terbentuknya, yakni tempat bagi pemuda-pemudi Muslim dalam mempelajari Islam dan kebangsaan secara kritis. Hasil kongres tersebut akhirnya memihak kubu Roem dan Wibisono.

 

Perdebatan tenyata masih terus berlanjut setelah itu. Akhirnya, pihak Roem mendirikan Studenten Islam Studieclub (Klub Kajian Islam untuk Mahasiswa) pada 1933. Husni menduga, pendirian SIS dilatari keinginan Roem untuk menampung para aktivis JIB yang sudah mencapai usia 30 tahun atau lebih. Sebab, itulah batas umur keanggotaan JIB. Latar lainnya adalah SIS memang dimaksudkan untuk mengkaji Islam secara kritis.

DOK REP/PRAYOGI

Organisasi menasional

 

Belanda memberlakukan Politik Etis pada 1900-an di Tanah Air sesungguhnya bertujuan menjinakkan kaum pribumi terdidik. Mereka diarahkan untuk bervisi koeksistensi antara Belanda dan Hindia (Indonesia) di masa depan. Sekolah-sekolah dan berbagai fasilitas beasiswa yang diberikan pemerintah kolonial adalah medium untuk memperkenalkan gagasan dan paham liberalisme Eropa Barat kepada generasi muda pribumi.

 

Ada yang larut dalam upaya demikian. Misalnya, Budi Utomo yang berdiri sejak 1908. Pendirinya, Raden Soetomo merupakan seorang mahasiwa Sekolah Dokter Jawa (STOVIA). Merasa tidak puas akan dominasi kaum priyayi (tua) di Budi Utomo, ia lantas mendirikan organisasi baru, yakni Tri Koro Dharmo yang lantas berubah menjadi Jong Java pada 1918.

 

Namun, tak ubahnya Budi Utomo, Jong Java pun mengimpikan terciptanya Jawa Raya yang mencakup Pulau Jawa, Madura, dan Bali di bawah kedaulatan Hindia Belanda. Visinya tidak sampai pada nasionalisme yang sungguh-sungguh mengakui persatuan di atas keberagaman Nusantara—persatuan yang menjadi motor kekuatan dalam membebaskan Bumi Pertiwi dari cengkeraman Belanda.

 

Hadirnya Jong Java menginspirasi pembentukan organisasi kepemudaan lainnya di berbagai penjuru Tanah Air. Serupa dengannya, semua jong-jong itu mengibarkan semangat kedaerahan meskipun nantinya melebur dalam ikrar kebangsaan Sumpah Pemuda 1928.

 

Lahirnya Jong Islamieten Bond (JIB) pada 1 Maret 1925 menandakan babak baru dalam sejarah perjuangan pemuda nasionalis yang tumbuh di dalam negeri. Berbeda dengan Jong Java dan sebagainya, JIB mengusung tekad nasionalisme di samping identitas agama Islam. Alih-alih Budi Utomo, visinya sejalan dengan Sarekat Islam (SI) yang berdiri sejak 16 Oktober 1905 sebagai Sarekat Dagang Islam. Hal itu diamini Mohammad Natsir, seperti dikutip dalam buku Percakapan Antar Generasi: Pesan Perjuangan Seorang Bapak (1988).

 

Natsir yang waktu itu belum genap berusia 20 tahun turut aktif di JIB. Ia mengungkapkan, corak nasionalis organisasi tersebut sangat kentara bila dibandingkan jong-jong yang marak bertumbuhan kala itu.

 

“Kalau berbagai jong itu sifatnya kedaerahan, maka Jong Islamieten Bond sifatnya lebih me-nasional, karena di mana-mana ada cabang Jong Islamieten Bond. (Cabang) JIB-JIB ini tidak terpisah-pisah, melainkan menjadi satu,” kenang perdana menteri kelima RI itu.

 

Usai Sumpah Pemuda 1928, lanjut Natsir, JIB kian gencar dalam berjuang menggelorakan solidaritas kebangsaan. Organisasi ini punya modal dasar karena sedari awal sudah berkarakter bineka. “Perjuangan kita menyadarkan anggota-anggota dan rakyat banyak mengenai kesadaran satu nusa dan satu bangsa,” ujarnya.

top